Bagaimana Bangkit dari Tekanan Belajar Selama Online?

Kompas.com - 30/03/2022, 09:15 WIB
Ilustrasi stres bekerja PEXELS/ENERGEPIC.COMIlustrasi stres bekerja

Oleh: Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psikolog (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara) | Dr. Rismiyati E. Koesma, Psikolog (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara) | Hanna Christina Uranus, S.Psi. (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara)

KOMPAS.com - Kondisi pandemi menyebabkan berbagai perubahan pada berbagai sektor, mulai dari kebijakan pada tempat publik, pekerjaan, ibadah, dan termasuk kegiatan belajar-mengajar.

Sekolah dan perguruan tinggi diwajibkan untuk menjaga protokol kesehatan dengan menerapkan pembatasan pertemuan tatap muka luring (offline), di mana proses perkuliahan juga banyak dilakukan secara daring (online).

Proses belajar-mengajar secara daring (online) memiliki perbedaan dengan pembelajaran yang sebelumnya dilakukan secara luring (offline). Kini, mahasiswa perlu mengerjakan tugas, ujian dan mempelajari materi melalui layar gawai.

Mahasiswa tidak dapat bertemu langsung untuk berdiskusi dengan rekan-rekan maupun dosen. Tidak tertutup pula kemungkinan terjadinya kendala teknis pada gawai maupun internet selama proses belajar.

Dapat dikatakan, metode pembelajaran berubah secara drastis, namun mahasiswa tetap dituntut untuk memenuhi kompetensi pembelajaran dengan standar yang sama dengan saat pembelajaran luring (offline).

Hal tersebut dapat dipersepsikan sebagai tantangan oleh mahasiswa, dan dapat menimbulkan berbagai perasaan negatif seperti kecemasan, perasaan tidak berdaya, ataupun stres.

Apabila dianalogikan, bola bekel yang dibanting dengan keras ke lantai mampu naik kembali dengan posisi lebih tinggi dari posisi awal.

Untuk mampu belajar dengan baik dan efektif, maka mahasiswa memerlukan kemampuan untuk ‘melenting’ atau bangkit kembali dengan lebih tangguh saat menghadapi situasi yang tidak nyaman.

Adapun hal tersebut dapat dijelaskan melalui konsep psikologis yang dikenal dengan resiliensi.

Baca juga: Belajar Bahasa Inggris Gratis di English Day TBI x Kompas.com, Daftar di Sini

Menurut Connor dan Davidson (2003), resiliensi adalah kualitas seseorang untuk berkembang walaupun menghadapi tekanan.

Seseorang yang resilien adalah seseorang yang mampu mempertahankan, bahkan memulihkan fungsi psikologis secara stabil terlepas dari permasalahan yang dihadapi.

Resiliensi dibentuk oleh berbagai faktor yang bersifat protektif atau melindungi kondisi mental seseorang, seperti lingkungan sosial yang suportif, pemahaman akan strategi penyelesaian masalah, maupun kemampuan dalam mengendalikan emosi.

Seseorang yang resilien adalah mereka yang memiliki serta mengembangkan berbagai kualitas diri.

Membentuk resiliensi

Connor dan Davidson (2003) menyatakan bahwa aspek yang membentuk konsep resiliensi terdiri dari kompetensi pribadi, toleransi terhadap efek buruk, penerimaan terhadap perubahan, persepsi terhadap kontrol, serta kepercayaan spiritual.

1. Kompetensi pribadi, atau meyakini bahwa dirinya mampu.

Untuk mampu melenting, maka individu perlu percaya dan mengetahui bahwa dirinya memiliki berbagai kemampuan yang dibutuhkan.

Dengan demikian, individu tersebut tidak mudah menyerah saat situasi terlihat buntu, dan akan bekerja keras menggunakan kemampuannya untuk mendapatkan jalan terbaik.

Sebagai contoh, mahasiswa yang kesulitan dalam memahami materi dari dosen karena pembelajaran daring (online), meyakini bahwa dirinya mampu untuk mencari alternatif untuk dapat belajar.

Mahasiswa tersebut tidak menyerah, dan mampu mengatasinya dengan mencatat dengan lebih rinci atau berdiskusi dengan rekan lain terkait materi yang kurang dipahami.

2. Toleransi terhadap efek buruk, atau menerima bahwa kehidupan memang tidak ada yang sempurna.

Seseorang yang memiliki resiliensi mampu menerima ‘pil pahit’ dalam kehidupannya. Penerimaan yang dimiliki membuat individu tetap mengalami perasaan positif, dan dengan demikian mampu berfokus pada hal-hal yang dapat dilakukan dalam situasi menekan.

Sebagai contoh, mahasiswa yang mengalami kendala tidak terus-menerus terjebak dalam sikap menyalahkan situasi.

Baca juga: Belajar Geologi Lebih Seru bagi Anak lewat Mainan Buatan Mahasiswa ITB

 

Dibandingkan menyalahkan dosen, gawai, situasi, pemerintah, atau bahkan Tuhan, mahasiswa tersebut memilih untuk menerima bahwa memang ada hal-hal yang terjadi di luar kendalinya.

3. Penerimaan terhadap perubahan, atau bersikap fleksibel saat perlu melakukan sesuatu secara berbeda.

Dalam proses mencapai tujuan, seringkali seseorang perlu menghadapi hambatan. Individu telah merencanakan dengan matang untuk berangkat melalui jalan A agar sampai di tujuan akhir, namun ternyata jalan A sedang ditutup karena suatu kondisi.

Dengan demikian, dirinya perlu berpindah ke jalan B, yang pada akhirnya juga akan membawanya pada tujuan yang sama. Sebagai contoh, mahasiswa mengalami kesulitan saat proses pembelajaran perlu dilakukan secara daring (online).

Mahasiswa tersebut merasa lebih nyaman dan efektif pada saat kelas dilaksanakan secara luring (offline).

Walau demikian, dirinya memilih untuk menerima dan mengikuti proses yang perlu dilaluinya, dan memaksimalkan setiap sumber daya selama pembelajaran daring agar dapat mencapai target dalam belajar.

4. Persepsi terhadap kontrol, atau keyakinan bahwa dirinya mampu mengendalikan respon diri untuk mengatasi permasalahan

Walaupun memang individu perlu menerima situasi yang dihadapi, dirinya tidak boleh menyerah dan sekedar menerima. Individu menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dikendalikan, namun ada faktor-faktor yang masih berada dalam kontrolnya dan dapat dimaksimalkan.

Sebagai contoh, mahasiswa yang mengalami kesulitan memahami materi dari dosen selama perkuliahan daring (online) mampu berinisiatif untuk bertanya kepada dosen tersebut terkait hal yang kurang dipahami.

Mahasiswa tersebut meyakini bahwa dirinya punya kendali untuk melakukan sesuatu, salah satunya adalah dengan meminta bantuan.

5. Kepercayaan spiritual, atau adanya pengharapan

Ada istilah bahwa pengharapan merupakan satu-satunya hal yang lebih kuat dibandingkan ketakutan. Seseorang yang resilien percaya bahwa setiap tekanan yang terjadi memiliki hikmah dan makna yang baik untuk dirinya.

Sebagai contoh, mahasiswa yang mengalami tekanan karena pembelajaran daring (online) meyakini bahwa hal tersebut akan membentuk diri menjadi lebih tangguh, dan bahkan lebih mumpuni dalam teknologi.

Pengalaman yang tidak menyenangkan ini akan membantunya untuk dapat berperforma dengan lebih optimal di masa yang akan datang.

Resiliensi atau kemampuan untuk melenting juga penting untuk dimiliki dan dikembangkan karena sangat bermanfaat untuk diri. Seseorang yang resilien akan mampu berperforma dengan lebih optimal.

Dengan demikian, mahasiswa yang resilien akan tetap mampu memahami target pembelajaran dan memiliki nilai akhir yang baik. Seseorang yang resilien juga akan lebih mampu mempertahankan perasaan positif seperti ketenangan dan kepuasan.

Selain itu, seseorang yang resilien juga lebih mampu menjaga hubungan yang baik dengan orang lain di lingkungan sekitar, baik dengan keluarga, teman, maupun dosen.

Dengan demikian, mahasiswa perlu melakukan refleksi diri terkait lima aspek dari resiliensi yang telah diuraikan. Situasi yang terjadi barangkali tidak optimal dan menyebabkan tantangan yang berbeda dibandingkan dengan proses pembelajaran sebelumnya.

Seringkali memang tekanan yang dialami berada diluar kendali, namun individu tetap perlu meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan dan ketangguhan untuk melenting dengan lebih tinggi.

Pilihannya adalah, apakah individu memilih untuk terus mengeluh dan menyalahkan situasi, ataukah memutuskan secara sadar untuk menjadi resilien?

Jane Kristen Marczewski, seorang penyanyi yang dikenal dengan panggilan Nightbirde pernah mengungkapkan dalam salah satu penampilannya di televisi, “You can’t wait until life isn’t hard anymore before you decide to be happy”.

Close Ads X