KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) siap menggelar Ujian Nasional atau UN versi baru bagi siswa SMA dan SMK pada bulan November 2025.
"Ya, untuk yang baru nanti akan diimplementasikan ke tingkat SMA, SMK, dan MA di bulan November 2025," kata Kepala Badan Standar Kurikulum Asesmen Pendidikan (BSKAP) Toni Toharudin dalam konferensi pers di Jakarta, dilansir dari laman Antara, Kamis, (23/1/2025).
Toni menjelaskan, pelaksanaan sistem UN yang baru harus dilaksanakan di sekolah atau madrasah yang sudah terakreditasi.
Baca juga: Mulai November 2025, UN Versi Baru Hanya untuk Siswa SMA, SMK, dan MA
Sementara, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah ( Mendikdasmen) Abdul Mu'ti memastikan istilah "ujian" dipastikan dihilangkan.
"Tak bocorin sedikit saja, nanti tidak akan ada kata-kata ujian lagi. Kata-kata ujian tidak ada," katanya.
Abdul Mu'ti juga menjelaskan konsep terkait pengganti ujian ini telah selesai dan akan diumumkan beberapa waktu mendatang.
"Jadi nanti akan kami sampaikan, setelah peraturan mengenai PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) nanti keluar. Nah, karena itu mudah-mudahan tidak perlu menunggu sampai selesai Idul Fitri," ucap Abdul Mu'ti.
Lalu, bagaimana tanggapan siswa SMA yang kini harus merasakan ujian nasional?
Salah satu murid kelas 11, Amelia Azarine dari MAN Insan Cendekia Pekalongan mengatakan kurang setuju dengan ide UN. Terutama jika syaratnya sebagai kelulusan siswa.
Baca juga: UN Bakal Digelar 2026, P2G Minta Jangan Lagi buat Syarat Kelulusan
"Tidak setuju. Menurut saya, UN untuk SD dan SMP merupakan satu-satu cara yang adil untuk menjadi syarat dan tolak ukur untuk menuju ke jenjang pendidikan yang selanjutnya. Sedangkan, UN tidak lagi relevan untuk siswa SMA, karena hasil UN tidak dapat digunakan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu PTN," kata dia.
Untuk memasuki PTN, terdapat salah satu jalur yaitu Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) yang syaratnya adalah mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer ( UTBK).
"UTBK memiliki subtes dan materi yang sangat kompleks, sehingga butuh persiapan yang lama dan matang untuk menghadapinya. Dengan adanya UN, siswa SMA tetap harus melakukan persiapan, dan persiapannya akan memotong banyak waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk mempersiapkan UTBK," tambah siswa yang tinggal di asrama ini.
Ia mengatakan, UN untuk siswa SMA atau SMK sederajat bila tujuannya untuk kelulusan siswa bisa cukup membuang waktu dan tenaga dengan sia-sia.
Terutama bagi dirinya yang kelas 11, mau tidak mau harus mempersiapkan diri selama satu tahun untuk mengikuti UN. Misalnya, siswa akan memilih mengikuti bimbingan belajar ( Bimbel) untuk tambahan belajar.
"Biaya bimbel tidak sedikit, hampir semua orang mengikuti bimbel untuk mempersiapkan UN, seperti halnya ketika saya duduk di kelas 6, yang di mana waktu itu hampir ada UN namun tidak jadi karena adanya pandemi. Hanya sebagian kecil dari teman-teman seusia saya yang saya kenal yang tidak mengikuti bimbel," tambahnya.
Di satu sisi ia mengatakan walaupun kurang setuju dengan UN, namun siswa tetap harus punya standar untuk lulus. Ia setuju bila ujian tetap ada sebagai syarat kelulusan.
"Untuk lulus dari sebuah pendidikan, diperlukan ujian. Dan menurut saya, ujian sekolah (US) dan ujian praktik sudah sangat cukup untuk syarat kelulusan untuk siswa SMA," kata dia lagi.
Sehingga, ia menyimpulkan jika UN sangat pas bagi siswa SD dan SMP.
"Setiap sekolah dan setiap guru memiliki cara dan pandangan yang berbeda dalam memberikan nilai. Dan perbedaan ini membuat nilai tiap siswa-siswi menjadi tidak dapat disamaratakan. Dengan adanya UN untuk SD dan SMP, hasilnya (NEM) akan adil untuk mengukur tingkat kemampuan peserta didik secara nasional," ungkapnya.
Sementara, siswa lain dari Pulau Madura juga menyoroti masalah bimbel. Dea Novita, siswa kelas 10 SMAN 1 Kokop, Bangkalan, Jawa Timur ini mengatakan kalau ada UN artinya ada biaya dan waktu yang disisihkan untuk persiapan.
"Kalo di sini kebetulan jarang ada yang ikut bimbel dari luar. Karena lokasinya jauh dari mana-mana. Jadinya cuma bisa dimaksimalin les tambahan di sekolah biasanya," kata dia.
Walaupun begitu, ia tidak keberatan jika UN diterapkan untuk siswa.
"Perlu sepertinya biar belajarnya lebih ekstra lagi, walaupun sejujurnya saya juga lebih seneng ga ada UN. Kalau capeknya sih selagi bareng-bareng sama temen, sepertinya masih bisa dilalui," kata dia.
Kemudian siswa lainnya seperti Zahrah Wafa, siswa SMA Negeri Lumajang kelas 10 mengatakan UN Itu perlu pertimbangan matang kalau diterapkan.
"Sejak kelas satu itu kan udah planning mau masuk kuliah jurusan apa. Nah kalau ada UN, ini bisa buat masuk kampus apa gimana. Berarti yang kelas 10 sama 11 harus belajar lebih keras," kata dia.
Baca juga: Daya Tampung 6 Prodi UT di SNBP 2025, Ada 150 Beasiswa
Tetapi ia khawatir pada kakak kelasnya, yang hanya mendapat waktu 10 bulan persiapan. Berbeda dengan dirinya yang punya waktu dua tahun untuk belajar materi UN.
Sementara siswa yang setuju, misalnya Rasoki Feblito Nadeak, murid Kelas 10 Sekolah Negeri Cikarang Pusat.
Rasoki sejak dulu tidak tahu rasanya mengikuti Ujian Nasional. Tetapi, ia menyetujui UN karena ada harapan bagi siswa terus berkembang.
"Karena dengan diadakannya Ujian Nasional (UN) mungkin siswa siswa yang berpotensi besar dalam hal pendidikan dapat dengan maksimal menunjukan kemampuan mereka kepada pemerintah yang mungkin dapat digunakan untuk membuat negara lebih berkembang," katanya.
Sementara siswa lain yang setuju, seperti Dewi Putri dari SMAN 6 Malang mengatakan UN bisa diterapkan asal bukan untuk kelulusan.
"Bisa aja sih diterapin. Tapi jangan sampai buat syarat lulus sih. Soalnya kalo iya, belajarnya jadi nambah banyak," Jawabnya singkat.
Ia mengatakan, persiapan dirinya dan kawan-kawannya dalam waktu 10 bulan dirasa kurang maksimal. "Terlalu mepet, sepertinya. Karena kami sudah harus fokus belajar untuk masuk kampus," ujarnya singkat.