Marak Kecurangan di Seleksi Masuk PTN 2025, Ada Apa?

Kompas.com - 02/05/2025, 11:19 WIB
Dampak efisiensi anggaran di Kemendiktisaintek. ShutterstockDampak efisiensi anggaran di Kemendiktisaintek.

KOMPAS.com - Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2025 mengumumkan terjadi berbagai macam upaya kecurangan pada pelaksanaan Ujian Tertulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK SNBT).

Upaya kecurangan itu dilakukan oleh beberapa pihak baik dari peserta, oknum orang dalam hingga, lembaga bimbingan belajar.

Ketua Umum Tim Penanggung Jawab SNPMB 2025 Eduart Wolok mengatakan, pihaknya telah menemukan kecurangan di 13 pusat UTBK SNBT 2025.

Baca juga: Lembaga Bimbel Diduga Terlibat Kecurangan UTBK, Janjikan 100 Persen Lulus

"Sekali lagi, semua kecurangan ini adalah dugaan. Kami sudah serahkan ke pihak aparat dalam hal ini polisi. Apakah tindak lanjut,keputusan berikutnya, kami serahkan kepada mereka," kata Eduart Wolok dikutip dari akun YouTube SNPMB 2025, Jumat (2/5/2025).

Lantas apa saja modus kecurangan pada UTBK SNBT 2025?

Modus kecurangan UTBK SNBT 2025

1. Mengambil soal UTBK

Modus mengambil soal UTBK dilakukan para peserta dengan berbagai macam cara seperti memotret layar komputer peserta dengan perangkat yang disembunyikan.

Record desktop komputer peserta dengan memasang aplikasi record pada komputer peserta. Remote desktop komputer peserta dengan memasang aplikasi remote dan perangkat lain sebagai Proxy agar bisa komunikasi ke jaringan luar.

"Ternyata ada alatnya yang tidak terlacak metal detector. Namun berhasil diketahui dari pengawasan terketat, kami cek memang ada kecurangan. Misalnya memasang hp, dan lainnya," ujar dia.

Baca juga: Beasiswa Al-Azhar Mesir 2025 Dibuka sampai 9 Mei, Cek Syaratnya

2. Menggunakan joki

Modus lainnya adalah peserta menggunakan joki dengan dua jenis modus lagi.

Seperti mengganti foto peserta dengan foto joki saat buat akun SNPMB dan memalsukan dokumen seperti KTP, copy ijazah, dan surat keterangan kelas 12.

Peserta yang paling banyak kedapatan menggunakan joki adalah peserta UTBK SNBT yang memilih program studi (Prodi) kedokteran.

3. Memberikan jawaban ujian

Modus ini memberikan jawaban pada peserta yang ada di ruang ujian. Modus ini pada UTBK 2025 juga melibatkan orang dalam pihak kampus.

"Ada keterlibatan orang dalam, dan sudah dikantongi identitasnya," ungkap Eduart.

Baca juga: Unesa Perketat Pemeriksaan UTBK SNBT 2025, Peserta Wajib Copot Alas Kaki

4. Otak-atik komputer

Pada modus ini ada yang melakukan remote komputer peserta dari luar dan mengendalikan sekaligus menjawab ujiannya.

Lalu ada juga yang mengambil alih akses perangkat jaringan untuk melakukan setting tertentu pada perangkat tersebut.

5. Keterlibatan Bimbel

Salah satu lembaga bimbingan belajar (Bimbel) di Yogyakarta juga diduga terlibat kecurangan UTBK SNBT 2025.

Eduart mengatakan, saat ini pihaknya sedang mendalami bagaimana bimbel di Yogyakarta ini terlibat. Hanya saja, ia tidak merinci bimbel mana yang terlibat.

Peserta UTBK SNBT 2025 saat menjalani pemeriksaan sebelum masuk ke ruang ujian di Pusat UTBK Unesa.Tangkap layar laman Unesa Peserta UTBK SNBT 2025 saat menjalani pemeriksaan sebelum masuk ke ruang ujian di Pusat UTBK Unesa.

Masalah lama

Melihat masalah tersebut, Pengamat Pendidikan, Ina Liem menilai fenomena kecurangan dalam UTBK, termasuk keterlibatan bimbel merupakan tanda bahwa akar masalah pendidikan belum dibenahi.

"Fenomena kecurangan dalam UTBK, termasuk keterlibatan bimbingan belajar, bukanlah kejadian pertama, dan sangat mungkin bukan yang terakhir, selama akar masalahnya belum dibenahi," terang Ina saat dihubungi Kompas.com, Rabu (20/4/2025).

Ina menjelaskan bahwa fenomena kecurangan UTBK bukanlah sekadar isu teknis, melainkan cerminan dari permasalahan karakter bangsa.

"Mentalitas jalan pintas yang tumbuh karena sistem yang selama puluhan tahun terlalu fokus pada angka dan nilai semata," ujar Ina.

Dia mengatakan bahwa paradigma pendidikan di Indonesia telah lama terjebak dalam praktik "teaching to the test".

"(Yaitu) di mana keberhasilan siswa diukur semata-mata dari skor, bukan dari kompetensi nyata atau integritas personal," jelasnya.

Baca juga: Beasiswa Adaro Foundation 2025 Masih Buka, Raih Rp 850.000 Per Bulan

Ina berpendapat bahwa pendekatan belajar ini justru akan diperkuat lagi dengan kebijakan Kemendikdasmen yang menambah Tes Kemampuan Akademik (TKA) dalam seleksi masuk perguruan tinggi.

Padahal, menurutnya, kurikulum Merdeka sudah menawarkan alternatif yang lebih relevan dengan tantangan Industri 4.0, yakni melalui pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, dan kontekstual.

"Memang betul banyak guru belum siap. Tapi perkembangan industri tidak menunggu guru siap. Justru kita yang harus berlari mengikuti perkembangan zaman demi anak-anak kita," ujar dia.

"Jika kita ingin membentuk SDM unggul, pembenahan harus dimulai dari cara kita mendefinisikan makna 'berprestasi'. Bukan sekadar siapa yang lulus tes, tapi siapa yang mampu berpikir kritis, bekerja sama, dan menjunjung integritas," terang Ina.

Dirinya mengatakan bahwa akibat dari sistem pendidikan yang terlalu lama terjebak pada mentalitas nilai dan tes sudah terlihat nyata, yakni melalui fakta bahwa 9,9 juta Gen Z menganggur.

"Mereka tidak hanya kalah dalam persaingan domestik, tapi juga kesulitan bersaing dengan SDM global yang dibentuk melalui sistem yang lebih adaptif, kontekstual, dan berorientasi pada kompetensi nyata," terang Ina.

Menurutnya, fenomena kecurangan UTBK menjadi alarm serius bahwa pendekatan pendidikan harus dirombak secara fundamental.

"Jika kita terus menilai potensi anak muda hanya dari skor ujian, maka kita sedang mencetak generasi yang cerdas di atas kertas, tapi rapuh di lapangan," kata dia.

Baca juga: Kisah Felicia Putri Tjiasaka, Lulusan Cum Laude PresUniv Raih Beasiswa Penuh S2 Harvard

Perlu ditata ulang

Senada dengan Ina, pakar sekaligus Kepala Pusat Riset Pendidikan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Trina Fizzanty menilai penataan ulang orientasi pendidikan penting untuk dilakukan.

Upaya tersebut demi menjunjung tinggi iklim pendidikan yang menekankan kejujuran dan integritas di tengah banyak temuan kasus kecurangan yang terjadi pada kegiatan UTBK SNBT 2025.

"Untuk menciptakan iklim pendidikan karakter dan nilai-nilai yang kondusif, kita perlu menata ulang orientasi pendidikan. Tidak hanya mengejar hasil, tetapi juga memuliakan proses," kata Trina seperti dilansir dari Antara, Kamis (1/4/2025).

Trina menilai berbagai kasus kecurangan yang terjadi pada proses UTBK 2025 merupakan hal yang memprihatinkan dan mencerminkan bahwa masalah moral, karakter, dan integritas masih menjadi tantangan serius dalam dunia pendidikan Indonesia.

Ia melanjutkan, hal ini juga menandakan bahwa pembangunan karakter dan nilai-nilai pada anak didik di dunia pendidikan di Indonesia masih belum berhasil.

"Ketika orientasi pendidikan terlalu menekankan capaian akademik dan persaingan, maka nilai-nilai seperti kejujuran dan integritas biasanya terpinggirkan. Hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan peserta didik," ujar Trina.

Menurut Trina, dalam menciptakan iklim pendidikan yang menjunjung tinggi kejujuran, perlu dibangun budaya belajar yang sehat sejak dini.

Dalam hal ini, jelas dia, Guru dan orang tua harus menjadi teladan dalam integritas, serta menerapkan konsekuensi yang jelas dan adil terhadap ketidakjujuran.

" Sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mengajarkan materi, tapi juga melatih empati, tanggung jawab, keberanian moral, dan nilai-nilai lainnya.

Baca juga: Mengapa Muncul Istilah Sains di Subtes Literasi Bahasa Indonesia UTBK 2025?

Sekolah perlu difokuskan untuk membangun habituasi penanaman nilai-nilai karakter," tegasnya.

Begitu pula di lingkungan keluarga dan masyarakat, Trina menekankan orang tua, para pemimpin, dan tokoh masyarakat perlu memberikan contoh perilaku dengan karakter yang baik.

"Jadi, sekali lagi, rendahnya moral anak-anak tidak bisa semata-mata ditujukan kepada lembaga pendidikan saja. Masyarakat, khususnya para pemimpin dan tokoh, turut memberikan kontribusi nyata terhadap kondisi ini. Ingat bahwa pendidikan—khususnya pendidikan karakter—merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat," tutur Trina.

Trina juga menganjurkan agar sistem seleksi masuk perguruan tinggi yang digunakan dikaji dan ditinjau terus-menerus agar tidak menimbulkan tekanan ekstrem yang mendorong anak didik untuk curang.

Ia juga menyarankan agar sistem seleksi menggabungkan penilaian akademik dengan rekam jejak karakter dan keterlibatan sosial calon mahasiswa.

"Dengan cara seperti ini, yang lolos menjadi calon mahasiswa tidak hanya pintar otaknya, tetapi memiliki akhlak mulia. Inilah calon pemimpin masa depan, dan saya optimis generasi emas tahun 2045 akan tercapai," ucap Trina.

Close Ads X