Menurut Firman, pengguna aplikasi hanya perlu memasukkan data yang akan digunakan untuk memprediksi zona geothermal.
“Misalnya data geologi, geokimia, dan suhu. Aplikasi kemudian akan memproses data tersebut menggunakan machine learning. Hasilnya berupa pembagian zona beserta ranking dari potensi geothermal yang ditampilkan dalam bentuk titik clustering. Interprestasi ini tentunya akan divalidasi dengan data riil hasil pengukuran lapangan,” tutur Firman.
Diakui Firman dan Naufal, bimbingan dari para dosen UPER serta kehadiran mata kuliah di kelas seperti Teknik Geothermal dan Kecerdasan Buatan di Bidang Migas, sangat membantu tim untuk mengembangkan inovasi.
Baca juga: BCA Buka Magang Bakti 2022 Lulusan SMA-SMK, D1-S1 di 32 Wilayah
Naufal menambahkan bahwa industri energi memiliki data yang jumlahnya sangat banyak. Sehingga, dalam penghitungannya membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Di sisi lain, perkembangan teknologi komputasi, seperti kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) dan machine learning (ML), saat ini semakin pesat. Ditambah, kehadiran cloud computing yang memberikan kebebasan kepada engineer untuk melakukan kegiatan eksplorasi tanpa terbatas ruang dan waktu.
Naufal juga berharap, inovasi ini dapat dikembangkan ke tahap yang lebih jauh khususnya pada pengembangan server dan penghitungan biaya.
Sehingga, imbuh dia, aplikasi dapat digunakan oleh perusahaan maupun pemerintah yang ingin melakukan eksplorasi di bidang geothermal.
Ia juga berharap, inovasi ini dapat menjadi studi literatur bagi pihak terkait di bidang eksplorasi geothermal.
“Menurut saya, Indonesia perlu menjadikan momentum Presidensi G20 untuk mengoptimalkan EBT, salah satunya pemanfaatan panas bumi. Karena hal ini akan berpotensi mengakselerasi capaian Sustainable Development Goals (SDGs) terkait pengurangan emisi karbon,” pungkas Naufal.