2. Toleransi terhadap efek buruk, atau menerima bahwa kehidupan memang tidak ada yang sempurna.
Seseorang yang memiliki resiliensi mampu menerima ‘pil pahit’ dalam kehidupannya. Penerimaan yang dimiliki membuat individu tetap mengalami perasaan positif, dan dengan demikian mampu berfokus pada hal-hal yang dapat dilakukan dalam situasi menekan.
Sebagai contoh, mahasiswa yang mengalami kendala tidak terus-menerus terjebak dalam sikap menyalahkan situasi.
Baca juga: Belajar Geologi Lebih Seru bagi Anak lewat Mainan Buatan Mahasiswa ITB
Dibandingkan menyalahkan dosen, gawai, situasi, pemerintah, atau bahkan Tuhan, mahasiswa tersebut memilih untuk menerima bahwa memang ada hal-hal yang terjadi di luar kendalinya.
3. Penerimaan terhadap perubahan, atau bersikap fleksibel saat perlu melakukan sesuatu secara berbeda.
Dalam proses mencapai tujuan, seringkali seseorang perlu menghadapi hambatan. Individu telah merencanakan dengan matang untuk berangkat melalui jalan A agar sampai di tujuan akhir, namun ternyata jalan A sedang ditutup karena suatu kondisi.
Dengan demikian, dirinya perlu berpindah ke jalan B, yang pada akhirnya juga akan membawanya pada tujuan yang sama. Sebagai contoh, mahasiswa mengalami kesulitan saat proses pembelajaran perlu dilakukan secara daring (online).
Mahasiswa tersebut merasa lebih nyaman dan efektif pada saat kelas dilaksanakan secara luring (offline).
Walau demikian, dirinya memilih untuk menerima dan mengikuti proses yang perlu dilaluinya, dan memaksimalkan setiap sumber daya selama pembelajaran daring agar dapat mencapai target dalam belajar.
4. Persepsi terhadap kontrol, atau keyakinan bahwa dirinya mampu mengendalikan respon diri untuk mengatasi permasalahan