Temuan ini mengindikasikan bahwa kecurangan bukan hanya insiden yang terisolasi, melainkan upaya yang terstruktur dan masif.
Adanya jejaring yang terstruktur tersebut mendorong Panitia SNPMB untuk meminta aparat hukum menindaklanjuti hasil temuan di lapangan.
“Teman-teman dari aparat hukum bisa menindaklanjuti dengan lebih detail ya. Karena memang kita memiliki keterbatasan akses untuk itu,” lanjut Eduart.
Eduart juga menyoroti munculnya modus kecurangan baru yang memanfaatkan teknologi canggih seperti rekayasa kecerdasan buatan (AI) dan pemalsuan kartu peserta. AI utamanya digunakan untuk merekayasa foto pada kartu peserta.
Namun, panitia SNPMB sendiri telah menyiapkan sistem verifikasi yang ketat untuk hal ini, seperti penggunaan kode khusus dan barcode untuk mendeteksi anomali dan ketidaksesuaian antara barcode dengan kartu yang dibawa peserta.
Baca juga: Prodi Humaniora Spesifik Kurang Diminati Peserta UTBK SNBT 2025
“Misalnya ada peserta menyampaikan kartunya, dia ujian di pusat UTBK A gitu. Dia tidak sadar kita memiliki kode, baik di penomoran maupun barcode itu yang menyatakan dia tidak ada di pusat A, tetapi di pusat lainnya gitu. Jadi ini bentuk-bentuk dari standar operasional kita untuk melakukan mitigasi terhadap kecurangan,” jelasnya.
Beberapa universitas telah mengambil langkah tegas. Universitas Hasanuddin misalnya, melaporkan sekitar 10 kasus kecurangan yang kini telah diproses secara hukum, dan beberapa pelaku bahkan sudah ditahan.
Meski begitu, keterkaitan mereka dengan jaringan kecurangan yang lebih besar masih dalam tahap penyelidikan.
Salah satu aspek mencolok dari temuan ini adalah nilai uang yang diduga terlibat dalam proses kecurangan.
Eduart menyebut, meski pihaknya belum bisa memastikan total nilai transaksi secara keseluruhan, laporan yang masuk menunjukkan angka yang fantastis, yaitu ratusan juta rupiah untuk satu kursi di prodi favorit.